Sejak virus korona baru (Covid-19) melanda Indonesia, gugus tugas kesehatan dan pemerintahan kota-kota mengutamakan penyemprotan bahan atau zat disinfektan kepada lingkungan sekitar kita. Harapannya, virus akan mati dan lingkungan sekitar akan steril.
Akan tetapi, pandemi Covid-19 yang berada dalam negara ini tetap saja merajalela. Jika kita melihat selama masa pandemi, Indonesia telah menderita beberapa gelombang kasus positif Covid-19.
Lebih menakutkan lagi, Institute of Tropical Disease Center, Universitas Airlangga, telah menyatakan bahwa tidak sedikit jumlah strain atau varian virus Covid-19 yang tersebar di seluruh Nusantara. Salah satu varian yang sangat ditakuti adalah varian dari India (B.1.617.2) yang bersifat lebih ganas dibandingkan dengan varian-varian sebelumnya.
Varian dari India tersebut membuat negara tersebut yang pernah dinyatakan ‘aman’, kembali menjadi hotspot Covid-19.
Mengapa ini bisa terjadi? Sebuah dugaan yang dikaji dari beberapa jurnal ilmiah menganggap bahwa virus dapat bermutasi (melalui proses bernama mutagenesis) ketika bersentuhan dengan zat kimia tertentu.
Covid-19 (juga dikenal sebagai SARS-Cov-2) adalah virus yang termasuk dalam keluarga virus Coronaviridae. Virus dalam keluarga coronaviridae memiliki materi genetik inti berwujud RNA (asam ribonukleat), atau DNA berhelai satu.
Satu ciri-ciri umum virus RNA adalah frekuensi mutasi virus yang tinggi dikarenakan materi genetiknya yang lebih kecil dibandingkan makhluk-makhluk bermateri genetik DNA. Salah satu skenario yang membuat virus mendapatkan tekanan untuk berubah atau bermutasi adalah agar dapat menginfeksi makhluk hidup yang mereka huni. Terutama makhluk hidup yang telah menerima kekebalan terhadap virus itu.
Sebuah virus yang mengalami banyak perubahan akan dikenal sebagai varian virus yang baru (novel). Perubahan terhadap anatomi virus juga dapat dicepatkan oleh sebuah proses, yaitu rekombinasi. Keluarga coronavirus adalah virus yang dapat menghasilkan strain dengan cukup cepat karena kombinasi proses mutasi yang cepat 10-4/tahun/situs (baca: 10 pangkat -4 per tahun per situs) dibandingkan sel manusia dengan frekuensi 10-8/tahun/situs (baca: 10 pangkat -8 per tahun per situs) [Lihat 1] dan rekombinasi.
Rekombinasi adalah proses terjadinya kombinasi materi genetik virus ketika bereplikasi di dalam sel inang yang menghasilkan strain yang baru (novel strain). Sebuah infeksi bersamaan atau co-infection yang terjadi karena dua strain coronavirus yang sama-sama menyerang sel inang yang sama dapat memicu terjadinya rekombinasi.
Menurut Su et al. (2016)[1], proses rekombinasi coronavirus di dalam unta menghasilkan strain MERS-CoV yang mengakibatkan pandemi MERS pada tahun 2015.
Jadi, jika virus Covid-19 terus terkena zat disinfektan yang dapat memicu pergantian materi genetik mereka, maka rekombinasi dapat menjelaskan mengapa banyak sekali strain baru yang teridentifikasi karena kemungkinan banyaknya pergantian pada strain Covid-19 asal.
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan di UC-San Diego (AS) oleh Holland, Domingo, De la Torre, dan Steinhauer (1990)[Lihat 2], virus yang mempunyai materi genetik yang berupa RNA (atau DNA berhelai satu) akan bermutasi ketika bersentuhan dengan zat kimia pemicu mutasi, yang juga dikenal sebagai mutagen.
Penelitian tersebut menggunakan virus yang bermateri genetik RNA untuk dua eksperimen. Yaitu VSV (vesicular stomatitis virus) dan poliovirus. Dari kedua eksperimen berikut, dibuktikan bahwa virus dapat mati jika terkena bahan/ zat kimia; akan tetapi, virus yang bertahan hidup memperoleh kemampuan bermutasi yang lebih ganas.
Pada eksperimen pertama, para peneliti memberikan beberapa macam mutagen dengan konsentrasi yang berbeda kepada 3 strain virus VSV. Mutagen yang dipakai untuk penelitian ini adalah obat kimia yang secara konvensional telah dipakai untuk mengobati kanker (5-FU dan 5-AZA-C), asam nitrit (HNO2) dan mutagen eksperimental (EMS).
Jika kita melihat dari hasil eksperimen pertama, bisa disimpulkan bahwa virus VSV yang terekspos oleh mutagen-mutagen tersebut pasti akan memiliki frekuensi mutasi yang lebih besar jika dibandingkan dengan virus VSV yang tidak ter-ekspos apa-apa. Juga, ketika kita melihat efek dari penambahan HNO2, zat asam yang mirip dengan asam nitrat (HNO3) yang biasa dipakai sebagai disinfektan, virus VSV yang diberti treatment selama 1 menit dan 3 menit masing-masing dapat bermutasi sebanyak 2.3 dan 1,9 kali lipat.
Para peneliti juga menyampaikan bahwa 2 pergantian pada materi genetik VSV saja dapat membuat virus tersebut tahan terhadap sebuah antibodi tubuh (I3 monoclonal).
Pada eksperimen kedua, para peniliti menerapkan prosedur yang sama. Yakni dengan cara memicu mutasi pada poliovirus ketika diberikan zat 5-FU dengan konsentrasi bervarian.
Hasil dari eksperimen kedua juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu poliovirus yang diberi zat 5-FU bermutasi dengan frekuensi lebih dari 2 kali lipat. Jumlah konsentrasi yang diberikan juga menentukan frekuensi mutasi virus tersebut. 5-FU dengan konsentrasi 50-100ug/mL (ug/mikogram, 1 mg = 1.000 ug) dapat mengakibatkan virus untuk bermutasi sebanyak 1.3 – 2.8 kali lipat.
Dari penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan tersebut dari UC-San Diego, dapat disimpulkan bahwa:
- Virus RNA yang bersentuhan dengan bahan/ zat kimia yang digunakan sebagai obat konvensional dan disinfektan dapat menyebabkan kenaikan frekuensi mutasi materi genetik virus.
- Antibodi yang dihasilkan oleh tubuh terancam kehilangan fungsi kerjanya karena kekebalan virus yang diperoleh dari mutasi.
- Frekuensi bermutasinya virus RNA bergantung pada jumlah konsentrasi bahan/ zat kimia yang terpapar dengan virus tersebut.
Covid-19 yang juga merupakan virus RNA secara teori dapat mengalami hal-hal yang disebut diatas. Karena itu, disinfektan yang merupakan bahan/ zat kimia yang dapat mengakibatkan bermutasinya Covid-19 dapat mengakibatkan masalah yang lebih besar dalam jangka panjang di lingkungan hidup dan tubuh manusia.
Belum lagi jika proses rekombinasi yang terjadi dapat melahirkan sebuah varian Covid-19 yang lebih berbahaya dan susah dilawan oleh sistem imun kita.
Di artikel penelitian mereka, Holland juga mengutip beberapa contoh virus-virus RNA penyerang tumbuhan dan ternak komersial yang membesar frekuensi mutasinya karena terkena disinfektan.
Mundry dan Grier (1956)[Lihat 3] menemukan bahwa penanganan asam nitrit (HNO2) yang diberikan pada virus mosaik tembakau (tobacco mosaic virus) dapat melipatgandakan mutasi penyebab kematian tanaman sebanyak 20 kali lipat. Sebuah penelitian lainnya yang dilakukan oleh Granoff (1961)[Lihat 4] menemukan bahwa penanganan asam nitrit (HNO2) yang diberikan pada Newcastle Disease Virus (NDV, virus penyebab kematian ayam ternak) memang efektif dalam mematikan dan menginaktivasi virus tersebut.
Namun, produk sampingan dari proses itu adalah munculnya strain baru NDV (juga terbukti tidak ada bermutasi di alam liar atau dikenal sebagai wild-type) dalam jumlah kecil yang hanya menunggu waktu untuk memulai sebuah pandemik baru di antara peternakan ayam di seluruh dunia.
Jika “solusi” disinfektan ini yang terlihat sangat efektif di pandangan banyak orang hanyalah sebuah kesalahpahaman massa, maka apa yang seharusnya dilakukan agar virus tidak bermutasi secara cepat dan regular?
Penanganan disinfektan memang sebuah pilihan yang dapat memperkecil masalah dalam jangka pendek. Tetapi, sudah terbukti bahwa masalah Covid-19 di Indonesia dan seluruh dunia masih bertambah buruk dengan ditemukannya strain Covid-19 yang telah bermutasi di luar tempat asal virus di Wuhan, Tiongkok.
Disinfeksi tidak bisa dikatakan sebagai sebuah metode pengendalian jangka panjang sebuah penyakit infeksi dalam wabah atau pandemi yang diakibatkan oleh virus. Oleh karena itu, pengendalian harus dilakukan secara bakterial atau menggunakan Effective Microorganisms (EM), yaitu mikroba multi-strain yang selaras dengan alam dan menguntungkan untuk kehidupan.
Solusi yang dapat mengatasi masalah virus secara alami dapat membuat masyarakat hidup berdampingan dengan virus Covid-19 secara lebih aman dan dengan kurangnya risiko mutasi Covid-19 dalam jangka panjang. (*)
*) Penulis adalah Gary Alvaro Geson. Alumnus Jurusan Biochemistry, University of Wisconsin, Madison, AS.